Jumat, 15 Mei 2009

Awal dari Sebuah Cerita


Untuk menggapai sebuah cita-cita terkadang kita harus berani untuk menghadapi semua rintangan dan bisa-bisa akan membuat kita dalam keadaan susah. Untuk semua hal yang bagus dan hal yang kiranya bagus, maka untuk mencapainya harus memiliki integritas yang tinggi. Tak boleh satu-satu untuk bisa menjadi yang lebih baik, tapi think and do it.
Dari dulu dan sekarang, manusia adalah satu dari sekian banyak makhluk yang sempurna dan mari kita lihat contoh yang bertebaran dalam kehidupan kita. Ada yang sukses dan ada yang gagal. Akan tetapi yang terpenting adalah kita mau berusaha dan mencoba untuk terus maju dan maju demi sebuah the bright future.

Sabtu, 09 Mei 2009

Menuju Baris Akhir

Ahad.
Aku tak mengerti apa yang ia katakan tentang apa yang ia sebut dengan sebuah kata-kata yang aneh. Sikapnya berubah sejak ia orang tuanya terlibat dalam sebuah perceraian. Aku tak pernah bisa untuk bersua dengannya lagi. Jika secara tak sengaja aku bertemu dengannya, maka ia akan segara menghindar dariku. Kini, ia menjadi sosok yang sangat berbeda dari temanku dulu, teman yang selalu bersama-sama dalam kegiatan apa pun dan di manapun.
Pagi ini, hari Ahad, satu Minggu sejak perceraian orang tuanya dan sejak berubahnya sikapnya, ketika hendak pergi untuk acara latihan ekskul di sekolah aku merasakan sesuatu yang tak enak. Entah dari mana datangnya sebab-sebab ini, tapi entah mengapa perasaan ini terus menjalar dalam nadiku dan tak kuasa untuk mencegahnya. Akan tetapi, karena ini adalah acara latihan puncak sebelum lomba dan kebetulan aku adalah ketua tim, maka dengan berat hati kupaksakan untuk berangkat ke sekolah hari itu juga.

Senin.
Hari ini aku dan satu tim akan mengikuti perlombaan yang diadakan bapak Walikota dan sekolah kami terpilih untuk mewakili kecamatan dengan dua sekolah unggulan lainnya. Dengan aku sebagai ketua kelompok, maka tanggung jawab besar ada di pundakku untuk membawa tim kami agar menang dalam lomba ini. Nama sekolah kami bawa, begitu pesan bapak Kepala Sekolah sebelum kami berangkat.
Dengan naik mobil sekolah, kami sepuluh orang segara berangkat, tapi tidak ada sahabatku yang selalu bersama. Ia mengundurkan diri sejak orang tuanya bercerai dan tidak pernah masuk kelas sejak saat itu. Sudah beberapa kali sekolah memanggilnya untuk sekolah, tapi ia tak menghiraukannya. Padahal ia adalah murid terpintar yang ada di sekolah, bahkan kalau boleh aku bilang satu Kotamadya tak ada yang bisa mengalahkan kepintarannya. Sahabatku, di mana engkau? Desahku.
Aku terus memikirnya sahabatku dan tanpa aku sadari bis yang kami naiki oleng dan masuk ke dalam jurang. Aku tak sempat berbuat apa-apa. Kudengar teriakan minta tolong dari kawan-kawanku yang lain dan aku sendiri mungkin juga minta tolong. Tapi, entah mengapa aku tak ingat sama sekali. Dan, sesudah itu semuanya gelap, gelap, tak ada cahaya, aku tak dapat melihat.

Selasa.
Saat aku membuka mata, pertama yang aku lihat adalah langit-langit putih dan di sana, di sudut ruangan dapat kulihat sesosok yang selama ini kurindukan, sahabatku. Engkau datang untukku? Tanyaku, tapi suaraku tertahan di tenggorokan. Sialan, umpatku dalam hati. Tapi, kau seolah tahu apa yang aku katakan, engkau berdiri dari duduk dengan wajah yang super manis sejak perceraian orang tuamu dan mendekat ke arahku. Kau duduk di sampingku dan memandang ke arahku. Aku melihat air matamu keluar dan seolah kesedihan masih menyelimuti dirimu. Ingin aku hapus air matamu dan ku peluk dirimu, tapi lagi-lagi tubuhku kaku dan tak bisa berbuat apa-apa. Sialan, kataku dalam hatiku sekali lagi.
Kau tiba-tiba mengelus rambutku dengan tanganmu dan betapa sejuk sentuhanmu. Tapi, tetap saja aku melihat air mata keluar dan menggenang di pipimu. Oh…sahabatku, apa yang terjadi padamu. Andai saja aku bisa meringankan bebanku. Katakan saja padaku, tapi tak ada suara yang keluar dari mulutku. Tuhan, Tuhan, tolong hambaMu ini, desahku lirih.
Satu jam kau duduk dan diam saja di sampingku. Tiba-tiba kau kecup keningku dan berdiri seolah ingin pergi dariku. Aku mencoba memegang tanganmu, tapi tubuhku lagi-lagi kaku. Aku diam dan aku tiba-tiba kau menghilang. Aku berteriak dan kini aku bisa mendengar suaraku keluar dari mulutku. Tapi, kau telah tiada bersama dengan datangnya sinar putih yang sangat terang dan sangat menyilaukan mataku. Aku ingin menangis, tapi aku sadar, itu tak ada gunanya. Aku berteriak dan terus berteriak memanggil namamu, tapi kau tidak pernah datang kembali untuk menemuiku. Sahabat, apa yang terjadi padamu.
Rabu.
Hari ini sedikit demi sedikit aku bisa berbicara dan dapat melihat dengan jelas. Aku berharap kau hari ini datang kepadaku lagi dan aku berjanji aku akan menghiburmu dan tak akan membiarkan air mata keluar dari matamu lagi. Tapi, kau tak kunjung datang, duhai sahabatku.
Akan tetapi, entah mengapa aku tak bisa mengerti kata-kata mereka yang mengatakan bahwa kau telah pergi jauh. Aku tak bisa menerima itu, kemarin kau datang padaku dan bahkan kau mengelus dan mengecup keningku. Aku coba jelaskan pada mereka, tapi mereka tetap mengatakan bahwa kau tidak pergi karen kemarin kau datang untukku. Aku ingin menghajar mereka, tapi aku tak bisa menggerakkan tubuhku, tubuhku masih sakit. Andai aku bisa bergerak akan aku hajar mereka, demi kau sahabatku.
Tapi, apa dayaku saat ini. Dengan tubuh yang penuh luka, aku tak bisa berbuat apa-apa untuk membelamu. Untuk membelamu sahabat. Akan tetapi, aku terus berteriak dan teriak terus agar mereka pergi jauh dan tidak menggaguku lagi, aku tahu kau hanya ingin berdua denganku saja, bukan dengan mereka yang telah mengatakan kau telah meninggalkanku.

Kamis.
Hari ketigaku di rumah sakit ini dan kini tubuhku dapat digerakkan dengan sedikit. Aku ingin berlari, tapi mereka mencegahku, sahabat. Aku harus bersabar demi kau, ya aku akan turuti dulu kata mereka untuk mencari kau, untuk bertemu denganmu lagi. Tentu kau tak ingin melihatku dengan tubuh penuh luka dan aku tak ingin membuatmu sedih hanya melihat luka yang ada padaku. Aku harus sembuh.
Aku makan apa saja yang mereka berikan dan bahkan aku minta lagi. Kau pasti akan tersenyum ketika mendengar ceritaku ini. Aku makan melebihi orang-orang dan tak ada sisa sama sekali ketika aku makan. Aku pun heran melihat seperti itu, tapi ini demi kesembuhanku dan demi bersua denganmu sahabat.

Jum’at.
Aku sudah bisa berjalan walau tak seberapa kuat pijakan kakiku. Dengan sekuat tenaga aku terus berjalan dan berjalan dan berteriak-teriak kegirangan. Aku melonjak ke sana ke sini dan aneh, aku bisa berlari. Mungkin ini karena aku makan banyak kemarin, sahabat. Aku terus berceloteh pada mereka yang mengatakan bahwa kau telah pergi, bahwa aku akan mencarimu ke manapun. Engkau pergi, sahabat, itu tak mungkin. Kau hanya sedih dan hanya aku yang bisa menghentikan kesedihanmu.
Aku sembuh dan ini adalah keajaiban. Tak ada bekas luka di tubuhku dan aku menjadi sangat sehat saat ini. Aku akan menghiburmu dan kau pasti akan melupakan semua kesedihanmu. Aku akan melihat kau tersenyum padaku lagi dan pada dunia, janjiku.

Sabtu.
Hari ini aku sudah boleh pulang dari rumah sakit. Aku berharap kau akan menjemputku, tapi kau tak ada. Tak apa, aku pasti masih sedih karena perceraian orang tuamu. Tapi, mereka terus mengatakan bahwa kau telah pergi jauh. Aku tak percaya, aku tak percaya kau telah pergi dan tak memberi selamat jalan padaku, pada sahabat sejatimu. Aku datangi rumahmu, tapi kau tak ada. Aku datang ke sekolah, tapi kau juga tak ada. Oh… ya aku ingat, kau sangat suka memancin, maka aku datangi setiap pemancingan yang ada dan berharap kau ada diantara mereka, tapi aku tak juga menemukannmu. Di mana kau sahabat? Kataku perih.
Aku pulang dan mereka akhirnya mengajakku untuk menjengukmu. Aku sangat senang dan ternyata mereka hanya ingin menggodaku dengan memberi tahu bahwa kau telah pergi jauh. Aku terus tersenyum karena akan bersua dengan senyummu lagi. Tapi, kenapa aku dibawa ke sini? Ada apa denganmu sahabat?
Mereka menunjukkan satu gundukan tanah dan di sana tertera namamu. Aku menangis, apakah ini kau sahabat. Ingin aku gali makam ini, tapi aku tak bisa merusak tempat ini. Hari ini, aku sadar, kau sedang tersenyum entah di mana dan apakah kau datang pada waktu itu untuk mengucapkan selamat tinggal padaku? Aku terus menangis dan mereka telah pergi, tinggal aku dan kau sahabat.

Di sini, di tempat ini adalah tanda persahaban kita tak akan pernah habis. Aku ingin mengatakan, inilah baris terakhir yang dapat aku ceritakan pada kalian. Aku tak tahu apa yang selanjutnya, yang kuingat hanya teriakan mereka yang memanggil namaku diantara makam-makam sambil berlari. Di baris terakhir aku tertidur di makam itu dan menunggu sahabatku datang.

Tangerang, 31 Maret 2009
The Blue Shark

lagi bikin sate, enak nich